ONTOLOGI DAKWAH
A. PENGERTIAN
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi
secara bahasa
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi
secara bahasa
Secara bahasa
kata ontologi dibagi menjadi dua yaitu ontos: sesuatu yang
berwujud, dan logos: “ilmu atau teori”[2]. Secara istilah ontologi adalah ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada, yang merupakan kenyataan terakhir baik yang berbentuk jasmani/ konkret maupun rohani / abstrak. Sedangkan kata dakwah berasal dari bahasa arab “Da’a-Yad’u-Da’wan” yang artinya adalah menyeru, mengajak. Secara istilah dakwah bisa diartikan sebagai mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek, agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat[3].
berwujud, dan logos: “ilmu atau teori”[2]. Secara istilah ontologi adalah ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada, yang merupakan kenyataan terakhir baik yang berbentuk jasmani/ konkret maupun rohani / abstrak. Sedangkan kata dakwah berasal dari bahasa arab “Da’a-Yad’u-Da’wan” yang artinya adalah menyeru, mengajak. Secara istilah dakwah bisa diartikan sebagai mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek, agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat[3].
Dari pengertian diatas dapat kita
tarik kesimpulan bahwa ontologi dalam filsafat
Dakwah Islam adalah pemahaman atau pengkajian tentang wujud hakikat dakwah
Islam dari segi hakikat dakwah islam itu sendiri dalam mengkaji problem ontologis
dakwah yang juga menjadi perhatian filsafat dakwah.
Bidang kajian ilmu dakwah bersifat empirik, dalam hal
ini harus dibedakan dari kajian ilmu agama yang juga membahas hal-hal yang
tidak empirik dalam pengertian tidak dapat dijangkau dengan pengalaman. Jika
ilmu agama mengkaji hal-hal seperti ketuhanan, hari kiamat, dan yang
sejenisnya, maka ilmu dakwah mengakaji hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan manusia, sosial, kehidupan keagamaan, pemikiran, budaya, estetika dan
filsafat dimana kesemua hal diatas dapat diverifikasi/ diuji langsung
(empiris).
Dalam
memandang bidang atau objek kajiannya tersebut, ilmu dakwah memiliki tiga
asumsi dasar. Pada asumsi dasar, pertama dikatakan bahwa objek tertentu memiliki keserupaan dengan objek
yang lain. berdasarkan asumi ini, objek-objek yang memiliki keserupaan kemudian diklasifikasikan menjadi kelompok-kelompok. Asumsi yang kedua
adalah suatu objek memiliki tingakah khusus di dalam kegiatan tertentu.
Suatu obyek memiliki perilaku tertentu jika ia berada di dalam situasi tertentu.
Misalnya kehidupan keagamaan masyarakat memiliki corak yang beragam tergantung
pada letak geografis atau komposisi demografisnya. Perilaku-perilaku ini akan
melahirkan gejala-gejala tertentu sehigga asumsi ketiga
menyatakan bahwa gejala (pada suatu objek) bukanlah kejadian kebetulan tetapi
ada pola tertentu yang bersifat tetap berdsarkan urutan-urutan yang sama. Hal
ini memungkinkan kita untuk mengamati suatu gejala di dalam riset untuk manrik
kesimpulan. Jika gejala yang ada bersifat tidak teratur tanpa mengikuti pola
tertentu maka akan susah menarik kesimpulan.
Ketika
membahas landasan ontologis ilmu dakwah maka kita akan bertemu isitilah-istilah
filsafat ilmu seperti adanya aspek fenomental dan aspek structural. Aspek
fenomental menunjukan ilmu dakwah yang mengewejantahkan dalam bentuk
masyarakat proses dan produk, sebagai masyarakat atau kelompok“elit” yang dalam
kehidupan kesehariannya begitu mematuhi kaidah-kaidah ilmiah ynag menurut
paradigma Mertan disebut universalisme, komunisme, dan skepsisme yang teratur
dan terarah sebagai proses ilmu dakwah menampakan diri sebagai aktivitas atau
kegiatan kelompok elit dalam upayanya menggali dan mengembangkan ilmu melalui
penelitian, ekspedisi, seminar, kongres dan lain-lainnya, sedangkan sebagai
produk ilmu dakwah dan menghasilkan berupa teori, ajaran, paradigma,
temuan-temuan dan lain sebagainya disebar luaskan melalui karya-karya publikasi
dan kemudian diwariskan kepada madsyarakat dunia.
Aspek struktural menunjukan
bahwa ilmu dakwah disebut sebagai ilmu pengetahuan apabila didalamnya terdapat
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Sasaran yang
dijadikan objek untuk diketahui(Gegenstand).
2. Objek
sasaran ini terus menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu
tanpa mengenal titik henti, adalah suatu
cara paradiks bahwa ilmu pengetahuan yang akan terus berkembang justru muncul
permasalahan-permasalahan baru yang mendorong terus dipertanyakan.
3. Ada alasan
mengapa Geganstand terus dipertanyakan.
4. jawaban yang
diperoleh kemudian dikumpulkan dalam sebuah sistim.
Ketika
berbicara mengenai ontologi dakwah, maka ada tiga hal mendasar yang harus
dilihat secara cermat dalam kajian tersebut yaitu:
1.
Manusia
(sebagai pelaku dan penerima dakwah)
Pertanyaan
tentang siapakah manusia itu telah muncul sejak manusia berada dimuka bumi, dan jawabanya disusun
sesuai dengan perkembangan pola pikir dan pengetahuan manusia itu sendiri. Jawaban
dari pertanyaan tersebut dapat
dijabarkan dalam berbagai disiplin ilmu sosial, ekonomi dan lain-lain, yang
setidaknya memuat jawaban bahwa manusia itu terdiri dari dua unsur yaitu,
pertama jasad material yang tidak ada bedanya dengan binatang). Sedangkan unsur
yang kedua adalah jiwa yang bersifat ruhaniyah, yang memungkinkan manusia untuk
berfikir dan berkembang secara dinamis. Inilah yang membedakan antara manusia
dan binatang.
Manusia dalam
pandangan Al-Qur’an dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna diantara
makhluk lain (At-Tin:4) dan diangkat derajatnya sebagai makhluk yang
mengungguli alam surga bahkan malaikat sekalipun. Akan tetapi dalam beberapa
tempat manusia juga direndahkan derajatnya, hal ini karena manusia dilengkapi
dengan sifat yang baik dan buruk. Dua sifat ini dapat dipahami dari dua unsur
beku penciptaan manusia, unsur materi yang terdiri dari tanah liat yang kering
dimana hal ini mengambarkan sifat kerendahan. Unsur kedua adalah ruh Allah yang
ditiupkan dalam diri manusia, hal inilah yang mengambarkan sifat sucinya manusia.
Dua sifat yang berlawanan ini mawarnai kehidupan dam memaksa manusia untuk
memilihnya. Dari pilihan manusia itulah yang akan menentukan nasibnya kelak
dikemudian hari.
Sedangakan
manusia dalam pandangan dakwah pada hakikatnya adalah bahwa manusia dicipta
dalam kondisi yang cenderung pada agama Allah. Hal ini telah ada sejak manusia
dalam kandungan, dimana manusia telah bersaksi bahwa Allah adalah tuhannya,
sehingga Allah melengkapi manusia dengan dua fungsi utama (sebagai kahlifah dan
kehambaan). Sepanjag perjalana hidup manusia selalu dihadapkan pada berbagai
macam rintangan dan hambatan yang menggoda fitrahnya. Dalam posisi tersebut manusia
harus memilih antara baik dan buruk. Oleh sebab itu Allah memberikan jembatan
“dakwah” agar manusia tetap berjalan secara konsisten dalam fitrahnya (jalan
tuhanya), Hal ini telah dijelaskan dalam QS. An-Nahl:125
2.
Islam
sebagai pesan dakwah
· Agama Islam
Untuk menjaga
eksistensinya sebagai makhluk dua dimensi, maka manusia membutuhkan dua
haldasar yang harus dipenuhi yaitu material ( sandang, pangan dan papan) dan
spiritual (agama). Agama secara pasti memberikan jawaban atas pertanyaan
manusia yang berkaitan dengan ketuhanan, yang dijelaskan dalam ajaran akidah,
yang berisi tentang siapa tuhan yang sebenarnya harus disembah. Jawaban tentang
rasa sosial manusia dijabarkan dalam ajaran syari’at yang mengatur tentan
bagaimana kehidupan manusia bisa berjalan dengan harmonis. Sedangkan pertanyaan
tentang etika dijelaskan oleh islam dalam ajaran akhlak, yang mengatur tentang
bagaimana manusia berhubungan dengan sesamanya.
3.
Dakwah
dan Hidayah[4]
Hidayah merupakan
penjelasan dan petunjuk jalan yang akan menyampaikan kepada tujuan, sehingga
meraih kemenangan di sisi Allah. Dalam hal ini hidayah tuhan yang berupa ajaran
islam akan sampai kepada manusia itu melalui proses, maka dalam proses inilah
dakwah berperan sentral. Sehingga bisa dikatakan bahwa posisi dakwah dalam hal
ini adalah upaya atau proses untuk mengajak dan merayu manusia agar kembali
atau tetap berada dan meningkatkan fitrahnya, yakni dalam ketuhanan, sosial dan
etika yang sesuai dengan ajaran islam sehingga dapat terwujud kehidupan manusia
yang khoiru ummah.
[1] Louis O.
Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004, hlm 185
[2] Loren Bagus, Ilmu
Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm 745
[3]
Abdul Kadir
Sayid Abdul Rauf, Dirasah Fi Dakwah
al-Islamiyah, Kairo: Dar El-Tiba`ahAl-Mahmadiyah, 1987
[4] Drs.
Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah, Yogyakarta: TERAS, 2006, Hlm 80