PROPOSAL RISET
TERKURUNG
DALAM JERUJI IDIOLOGI
( Study Tentang Stereotip Wanita Dalam Iklan
Detergen Vanish )
Oleh: Kholifatus Saadah
Oleh: Kholifatus Saadah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam wacana kehidupan modern seperti sekarang ini,
keberadaan media massa selain menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan
masyarakat,
media massa juga berperan sebagai salah satu institusi sosial. Dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat, media massa memberikan kontribusi yang sangat besar dalam rangka mengembangkan struktur sosial dan konservasi nilai-nilai sosial yang ada. Terlebih seperti pada era informasi ini, di mana hampir seluruh lapisan masyarakat di dunia sudah menjadi sangat tergantung dengan adanya informasi yang datang dari media massa, maka keberadaan media massa menjadi semakin penting dan menentukan.
media massa juga berperan sebagai salah satu institusi sosial. Dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat, media massa memberikan kontribusi yang sangat besar dalam rangka mengembangkan struktur sosial dan konservasi nilai-nilai sosial yang ada. Terlebih seperti pada era informasi ini, di mana hampir seluruh lapisan masyarakat di dunia sudah menjadi sangat tergantung dengan adanya informasi yang datang dari media massa, maka keberadaan media massa menjadi semakin penting dan menentukan.
Dalam konteks kekinian, kehadiran salah satu media
massa dalam upaya pemenuhan kebutuhan informasi dan hiburan yang sangat
berperan aktif adalah televisi. Televisi
memiliki peran yang cukup signifikan dalam proses pembentukan karakter dan moralitas
sebuah bangsa, tidak terkecuali bagi bangsa indonesia. Sebagai salah satu
bentuk media massa, televisi tidak bisa melepaskan diri dari pergulatan sosial
yang ada di masyarakat[1].
Sejak kehadiranya untuk yang pertama kali pada tahun 1962, televisi di
indonesia sering dipahami sebagai sebuah proyek kebudayaan nasional indonesia[2].
Sebagai penggerak kebudayaan, televisi di Indonesia
dianggap ikut bertanggung jawab terhadap
perubahan sosio kultural yang terjadi pada masyarakatnya, termasuk efek negatif
yang muncul. Namun dalam prakteknya, televisi Indonesia lebih sering dianggap
sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam
upaya menggalakkan program pemerintah pada waktu itu. Anggapan ini
muncul karena sebagai sebuah media massa, televisi Indonesia lebih sering
mengambil peran sebagai promotor nilai-nilai kebudayaan yang diprakarsai oleh
pemerintah dibandingkan dengan peran-peran subtantif lain yang mestinya ditawarkan.
Akibatnya, sajian apa saja yang ditampilkan oleh televisi dianggap sebagai
sesuatu yang penting bagi masyarakat dan dijadikan pedoman serta agenda
tersendiri oleh masyarakat.
Lebih lanjut lagi, Media televisi dalam dunia
industri saat ini sering digunakan sebagai sarana promosi dan komunikasi kepada
publik, untuk memberikan pengaruh dan memancing pola konsumsi masyarakat
terhadap produk tertentu. Dalam perkembangannya, pendekatan-pendekatan
psikologis mulai diterapkan dalam kegiatan periklanan sehingga mampu menggugah
minat dan emosi masyarakat untuk mencari kepuasan dengan cara melihat
acara-acara yang disajikan atau dengan cara mengkonsumsi barang yang
ditawarkan,tanpa memperhatikan sisi positif maupun negatifnya.
Melalui citra-citra atau image-image yang diciptakannya,
iklan diharapkan mampu mengubah perilaku seseorang, menciptakan permintaan
konsumen dan juga mampu membujuk orang agar berpartisipasi dalam kegiatan
konsumsi, yang pada akhirnya mereproduksi masyarakat konsumen[3].
Hasil penelitian yang menggambarkan peran negatif
televisi diantaranya disampaikan oleh sirkit Syah, bahwa tayangan sinetron
sering kalihanya menjual mimpi, tayangan kriminalitas lebih meninjolkan unsur
sadisme, kemasan hiburan dan quiz lebih banyak menjiplak model barat[4].
Selain itu citra negatif tentang peran televisi di masyarakat juga disampaikan
oleh Julia Kusuma. Menurutnya, peran televisi selama ini kurang berfungsi
sebagai pendobrak nilai-nilai kebudayaan di masyarakat yang kurang mapan.
Justru sebaliknya, peran televisi hanya berfungsi sebagai penjaga gawang status
quo dan kelompok-kelompok dominan darilembaga-lembaga yang ada. Termasuk status
quo yang yang masih melekat bahkan diperkuat oleh televisi adalah mengenai
pelebelan atau stereotip tentang keberadaan wanita di masyarakat.
Dalam beberapa hasil penemuan yang lain juga
disebutkan bahwa, televisi dituduh sebagai agen perubahan sosial yang justru semakin
memperkuat budaya diskriminasi terhadap wanita dengan berbagai sajian acaranya,
baik melalui iklan, dunia hiburan, perfilman, bahkan musik yang terkesan
melecehkan wanita. Dalam konteks acara yang disajikan tersebut, eksistensi
wanita dicitrakan sebagai makhluk yang pasif, tidak mandiri, sangat tergantung
pada laki-laki, lemah dan tidak berani mengambil keputusan. Selain itu wanita
juga dicitrakan sebagi sosok yang konsumtif dan selalu berusaha untuk tampil cantik
dan menarik dihadapan laki-laki[5].
Pada dasarnya setereotip merupakan pelabelan yang
diberikan oleh seseorang atau kelompok sosial tertentu kepada sosio-kultur
tertentu, dan oleh karenanya seringkali bersifat subyektif, sepihak dan salah
kaprah. Stereotip ini biasanya meurpakan anggapan umum yang digunakan sebagai
refrensi awal ketika pertama kali seseorang atau kelompok-kelompok tertentu
melihat kelompok atau orang lain[6].
Kemudian fenomena ini diperkuat dengan munculnya gejala-gejala yang dihadirka
oleh kelompok yang lebih besar.
Adapun stereotip yang diberikan kepada kaum hawa
adalah bahwa mereka itu individu yang lemah, melakukan peran domestik,
emosional, lemah dan lebih kuat dibandingkan laki-laki. Tetapi sebaliknya, kaum
laki-laki dianggap lebih superior, rasional dan melakukan peran di wilayah
publik. Oleh karena itu harus dimenagkan.
Pelebelan ini semakin kuat mengakar di masyarakat karena
didukung oleh sistem sosial yang kondusif. Selain itu, citra hitam putih
tentang stereotip wanita dan laki-laki juga mengalami proses sosialisasi secara
terus-meners dari generasi ke generasi melalui beberapa agen sosialisasi yang
sistemik. Dalam menggambarkan pola hubungan antara wanita dan laki-laki, televisi
diIndonesia belum mampu menyajikan ide tentang kesetaraan gender sebagaimana
yang dikehendaki para aktivis feminis dan pemerhati masalah wanita.
Stereotip
atau
pembelaan yang dianggap
cenderung
merugikan
kaum
wanita yang sering
dimunculkan
dalam
berbagai
acara di televisi diantaranya bahwa wanita itu pasif, tergantung
pada
pria, didominasi
oleh
pria, dan
lebih
parah
lagi ‘sebagai symbol seks’[7].
Karena itu, televise kemudian
dianggap
oleh para pemerhati media
massa sebagai agen sosial yang efektif
untuk
menumbuhkan
dan
menguatkan
stereotip negative tentang
wanita.
Asumsi
ini
bukan
bermaksud
untuk
mengklaim
bahwa
kaum
wanita
adalah
sekelompok
manusia
pasif yang akan
menerima without reserve
(tanpa
perlawanan, apa
adanya) terhadap
pesan-pesan yang disampaikan
oleh televise, apalagi
dalam
kontes
kekinian
semakin
banyak
wanita yang lebih terdidik dan kritis. Namun mengingat bahwa wanita mempunyai peluang yang besar
untuk
secara
terus
menerus
menerima
terapaan
media,
maka
agak
masuk
akal
atau
fenomena
ini
menjadi
satu
kekhawatiran
tersndiri
bagi
peneliti
tersebut.
Salah satu diantara banyak iklan yang menggunakan
tokoh perempuan adalah iklan detergen Vanish. Produk iklan ini sangat kental
menggambarkan sosok perempuan sebagai daya tarik produknya. Iklan detergen Vanish
sendiri merupakan produk sebuah pencuci pakaian. Citra yang dibentuk dari iklan
ini adalah peran domestik perempuan. Adapun peran domestik perempuan disini
digambarkan bahwa seorang ibu rumah tangga yang baik dan cerdas adalah mereka
yang mampu mengurus semua pekerjaan rumah termasuk dalam mencuci pakaian dan
memilih produk detergen yang bagus dan ampuh membasmi kotoran. Hal ini tentu
mengundang sebuah keprihatinan tersendiri dalam konstruksi gender terhadap kaum
perempuan.
Dari latar belakang diatas, maka peneliti tertarik
untuk mengangkat tema tentang stereotipe perempuan dalam iklan Detergen Vanish
dilihat dari perspektif semiotik.
[1]Siti sholihati, Wanita Dan Media Massa, Yogyakarta:
Sukses Offset, 2007, Hlm 3
[2]Pada tahun 1962, TVRI merupakan satu-satunya station televisi yang
ada di Indonesia. Pada waktu itu, TVRI masih dianggap sebagai barang baru yang
menawarkan berbagai teknologi canggih, sehingga ia dengan cepat dapat menarik
simpati publik. Adapun tayangan perdana yang disajikan station TVRI dengan menu
utama saat itu adalah liputan SEA GAMES. Hanya dengan waktu yang relatif
singkat station tersebut menjadi media favorit bagi masyarakat Indonesia.
[4]Ibid, Hlm 5
[5]Masih ada Beberapa bukti juga yang menunjukkan telah terjadi
pembiasan makna yang tidak “adil” tentang citra perempuan dikemukakan oleh
hasil beberapa hasil penelitian di Amerika. Paisley-Butler (1974) mengemukakan
dari hasil penelitiannya bahwa kesan yang dibentuk dari iklan-iklan yang muncul
tentang perempuan yaitu: Merendahkan perempuan/dia; sebagai objek seks, dan
objek seks, Menempatkan perempuan di tempatnya; perempuan diperlihatkan
kebanyakan dalam peran tradisional atau berjuang dengan peran di ‘luar mereka’,
Berikan dia dua tempat; perempuan bisa mendapatkan pekerjaan selama mereka
tetap sebagai istri atau ibu; pekerjaannya hanya merupakan ‘tambahan’, Mengakui
bahwa bahwa perempuan sejajar; perempuan dalam peran-peran kom-pleks tanpa
harus diingatkan bahwa pekerjaan rumah tangga dan menjadi ibu adalah pekerjaan
mutlak mereka dan Tindak stereotip (individu utuh, tidak dihakimi oleh seksis).
Sedangkan
sebuah studi tentang perempuan dalam iklan majalah memberikan rumusan tentang
konsep citra perempuan yang muncul dalam iklan. Konsep tersebut adalah: citra
pigura, citra pilar, citra peraduan, citra pinggan, dan citra pergaulan
(Tomagola, 1998). Secara rinci kelima rumusan tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut: Pigura; digambarkan sebagai mahluk yang harus memikat dengan
ciri-ciri biologisnya seperti: buah dada, pinggul, dan ciri-ciri keperempuanan
yang dibentuk oleh budaya; seperti rambut, panjang betis, dan lain-lain. Pilar;
digambarkan sebagai pilar pengurus utama keluarga; pengurus rumah tangga, dan
wilayah tanggung jawabanya dalam rumah tangga. Dalam hal ini perempuan
bertanggung jawab terhadap keindahan fisik rumah suaminya, pengelolaan sumber
daya rumah, dan anak-anak. Peraduan; citra ini menganggap perempuan
sebagai obyek seks atau pemuasan laki-laki. Seluruh kecantikan perempuan
(kecantikan alamiah maupun buatan) disediakan untuk dikonsumsi laki-laki)
seperti menyentuh, memandang, dan mencium.Kepuasan laki-laki adalah kepuasan
perempuan yang mmerasa dihargai. Baagian tubuh yang dieksploitir adalah betis,
dada, punggung, pinggul dan rambut. Pinggan; perempuan digambarkan
sebagai pemilik kodrat, setinggi apapun pendidikannya atau penghasilannya,
kewajibannya tetap di dapur. Pergaulan; perempuan digambarkan sebagai
mahluk yang dipenuhi kekhawatiran tidak memikat, tidak tampil menawan, tidak
bisa dibawa ke muka umum, dll.
[6]Andik purwasito, Kounikasi multi cultural, Surakarta: muhammadiah university press, 2003, Hlm 228
[7]Idi
Subandy Ibrahim dan
Hanif
Suranto, Wanita
dan
Media: Konstruksi dan Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru,
Bandung: Rosda Karya,
1998, Hlm 107