Senin, 16 Desember 2013

STEREOTIP WANITA


PROPOSAL RISET
TERKURUNG DALAM JERUJI IDIOLOGI
( Study Tentang Stereotip Wanita Dalam Iklan Detergen Vanish )
Oleh: Kholifatus Saadah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam wacana kehidupan modern seperti sekarang ini, keberadaan media massa selain menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat,
media massa juga berperan sebagai salah satu institusi sosial. Dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat, media massa memberikan kontribusi yang sangat besar dalam rangka mengembangkan struktur sosial dan konservasi nilai-nilai sosial yang ada. Terlebih seperti pada era informasi ini, di mana hampir seluruh lapisan masyarakat di dunia sudah menjadi sangat tergantung dengan adanya informasi yang datang dari media massa, maka keberadaan media massa menjadi semakin penting dan menentukan.
Dalam konteks kekinian, kehadiran salah satu media massa dalam upaya pemenuhan kebutuhan informasi dan hiburan yang sangat berperan aktif  adalah televisi. Televisi memiliki peran yang cukup signifikan dalam proses pembentukan karakter dan moralitas sebuah bangsa, tidak terkecuali bagi bangsa indonesia. Sebagai salah satu bentuk media massa, televisi tidak bisa melepaskan diri dari pergulatan sosial yang ada di masyarakat[1]. Sejak kehadiranya untuk yang pertama kali pada tahun 1962, televisi di indonesia sering dipahami sebagai sebuah proyek kebudayaan nasional indonesia[2].
Sebagai penggerak kebudayaan, televisi di Indonesia dianggap ikut bertanggung  jawab terhadap perubahan sosio kultural yang terjadi pada masyarakatnya, termasuk efek negatif yang muncul. Namun dalam prakteknya, televisi Indonesia lebih sering dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam  upaya menggalakkan program pemerintah pada waktu itu. Anggapan ini muncul karena sebagai sebuah media massa, televisi Indonesia lebih sering mengambil peran sebagai promotor nilai-nilai kebudayaan yang diprakarsai oleh pemerintah dibandingkan dengan peran-peran subtantif lain yang mestinya ditawarkan. Akibatnya, sajian apa saja yang ditampilkan oleh televisi dianggap sebagai sesuatu yang penting bagi masyarakat dan dijadikan pedoman serta agenda tersendiri oleh masyarakat.
Lebih lanjut lagi, Media televisi dalam dunia industri saat ini sering digunakan sebagai sarana promosi dan komunikasi kepada publik, untuk memberikan pengaruh dan memancing pola konsumsi masyarakat terhadap produk tertentu. Dalam perkembangannya, pendekatan-pendekatan psikologis mulai diterapkan dalam kegiatan periklanan sehingga mampu menggugah minat dan emosi masyarakat untuk mencari kepuasan dengan cara melihat acara-acara yang disajikan atau dengan cara mengkonsumsi barang yang ditawarkan,tanpa memperhatikan sisi positif maupun negatifnya.
Melalui citra-citra atau image-image yang diciptakannya, iklan diharapkan mampu mengubah perilaku seseorang, menciptakan permintaan konsumen dan juga mampu membujuk orang agar berpartisipasi dalam kegiatan konsumsi, yang pada akhirnya mereproduksi masyarakat konsumen[3].
Hasil penelitian yang menggambarkan peran negatif televisi diantaranya disampaikan oleh sirkit Syah, bahwa tayangan sinetron sering kalihanya menjual mimpi, tayangan kriminalitas lebih meninjolkan unsur sadisme, kemasan hiburan dan quiz lebih banyak menjiplak model barat[4]. Selain itu citra negatif tentang peran televisi di masyarakat juga disampaikan oleh Julia Kusuma. Menurutnya, peran televisi selama ini kurang berfungsi sebagai pendobrak nilai-nilai kebudayaan di masyarakat yang kurang mapan. Justru sebaliknya, peran televisi hanya berfungsi sebagai penjaga gawang status quo dan kelompok-kelompok dominan darilembaga-lembaga yang ada. Termasuk status quo yang yang masih melekat bahkan diperkuat oleh televisi adalah mengenai pelebelan atau stereotip tentang keberadaan wanita di masyarakat.
Dalam beberapa hasil penemuan yang lain juga disebutkan bahwa, televisi dituduh sebagai agen perubahan sosial yang justru semakin memperkuat budaya diskriminasi terhadap wanita dengan berbagai sajian acaranya, baik melalui iklan, dunia hiburan, perfilman, bahkan musik yang terkesan melecehkan wanita. Dalam konteks acara yang disajikan tersebut, eksistensi wanita dicitrakan sebagai makhluk yang pasif, tidak mandiri, sangat tergantung pada laki-laki, lemah dan tidak berani mengambil keputusan. Selain itu wanita juga dicitrakan sebagi sosok yang konsumtif dan selalu berusaha untuk tampil cantik dan menarik dihadapan laki-laki[5].
Pada dasarnya setereotip merupakan pelabelan yang diberikan oleh seseorang atau kelompok sosial tertentu kepada sosio-kultur tertentu, dan oleh karenanya seringkali bersifat subyektif, sepihak dan salah kaprah. Stereotip ini biasanya meurpakan anggapan umum yang digunakan sebagai refrensi awal ketika pertama kali seseorang atau kelompok-kelompok tertentu melihat kelompok atau orang lain[6]. Kemudian fenomena ini diperkuat dengan munculnya gejala-gejala yang dihadirka oleh kelompok yang lebih besar.
Adapun stereotip yang diberikan kepada kaum hawa adalah bahwa mereka itu individu yang lemah, melakukan peran domestik, emosional, lemah dan lebih kuat dibandingkan laki-laki. Tetapi sebaliknya, kaum laki-laki dianggap lebih superior, rasional dan melakukan peran di wilayah publik. Oleh karena itu harus dimenagkan.
Pelebelan ini semakin kuat mengakar di masyarakat karena didukung oleh sistem sosial yang kondusif. Selain itu, citra hitam putih tentang stereotip wanita dan laki-laki juga mengalami proses sosialisasi secara terus-meners dari generasi ke generasi melalui beberapa agen sosialisasi yang sistemik. Dalam menggambarkan pola hubungan antara wanita dan laki-laki, televisi diIndonesia belum mampu menyajikan ide tentang kesetaraan gender sebagaimana yang dikehendaki para aktivis feminis dan pemerhati masalah wanita.
Stereotip atau pembelaan yang dianggap cenderung merugikan kaum wanita yang sering dimunculkan dalam berbagai acara di televisi diantaranya bahwa wanita itu pasif, tergantung pada pria, didominasi oleh pria, dan lebih parah lagi ‘sebagai symbol seks’[7]. Karena itu, televise kemudian dianggap oleh para pemerhati media massa sebagai agen sosial yang efektif untuk menumbuhkan dan menguatkan stereotip negative tentang wanita.
Asumsi ini bukan bermaksud untuk mengklaim bahwa kaum wanita adalah sekelompok manusia pasif yang akan menerima without reserve (tanpa perlawanan, apa adanya) terhadap pesan-pesan yang disampaikan oleh televise, apalagi dalam kontes kekinian semakin banyak wanita yang lebih terdidik dan kritis. Namun mengingat bahwa wanita mempunyai peluang yang besar untuk secara terus menerus menerima terapaan media, maka agak masuk akal atau fenomena ini menjadi satu kekhawatiran tersndiri bagi peneliti tersebut.
Salah satu diantara banyak iklan yang menggunakan tokoh perempuan adalah iklan detergen Vanish. Produk iklan ini sangat kental menggambarkan sosok perempuan sebagai daya tarik produknya. Iklan detergen Vanish sendiri merupakan produk sebuah pencuci pakaian. Citra yang dibentuk dari iklan ini adalah peran domestik perempuan. Adapun peran domestik perempuan disini digambarkan bahwa seorang ibu rumah tangga yang baik dan cerdas adalah mereka yang mampu mengurus semua pekerjaan rumah termasuk dalam mencuci pakaian dan memilih produk detergen yang bagus dan ampuh membasmi kotoran. Hal ini tentu mengundang sebuah keprihatinan tersendiri dalam konstruksi gender terhadap kaum perempuan.
Dari latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk mengangkat tema tentang stereotipe perempuan dalam iklan Detergen Vanish dilihat dari perspektif semiotik.


[1]Siti sholihati, Wanita Dan Media Massa, Yogyakarta: Sukses Offset, 2007, Hlm 3
[2]Pada tahun 1962, TVRI  merupakan satu-satunya station televisi yang ada di Indonesia. Pada waktu itu, TVRI masih dianggap sebagai barang baru yang menawarkan berbagai teknologi canggih, sehingga ia dengan cepat dapat menarik simpati publik. Adapun tayangan perdana yang disajikan station TVRI dengan menu utama saat itu adalah liputan SEA GAMES. Hanya dengan waktu yang relatif singkat station tersebut menjadi media favorit bagi masyarakat Indonesia.
[3]Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002, Hlm 14
[4]Ibid, Hlm 5
[5]Masih ada Beberapa bukti juga yang menunjukkan telah terjadi pembiasan makna yang tidak “adil” tentang citra perempuan dikemukakan oleh hasil beberapa hasil penelitian di Amerika. Paisley-Butler (1974) mengemukakan dari hasil penelitiannya bahwa kesan yang dibentuk dari iklan-iklan yang muncul tentang perempuan yaitu: Merendahkan perempuan/dia; sebagai objek seks, dan objek seks, Menempatkan perempuan di tempatnya; perempuan diperlihatkan kebanyakan dalam peran tradisional atau berjuang dengan peran di ‘luar mereka’, Berikan dia dua tempat; perempuan bisa mendapatkan pekerjaan selama mereka tetap sebagai istri atau ibu; pekerjaannya hanya merupakan ‘tambahan’, Mengakui bahwa bahwa perempuan sejajar; perempuan dalam peran-peran kom-pleks tanpa harus diingatkan bahwa pekerjaan rumah tangga dan menjadi ibu adalah pekerjaan mutlak mereka dan Tindak stereotip (individu utuh, tidak dihakimi oleh seksis).
Sedangkan sebuah studi tentang perempuan dalam iklan majalah memberikan rumusan tentang konsep citra perempuan yang muncul dalam iklan. Konsep tersebut adalah: citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra pinggan, dan citra pergaulan (Tomagola, 1998). Secara rinci kelima rumusan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Pigura; digambarkan sebagai mahluk yang harus memikat dengan ciri-ciri biologisnya seperti: buah dada, pinggul, dan ciri-ciri keperempuanan yang dibentuk oleh budaya; seperti rambut, panjang betis, dan lain-lain. Pilar; digambarkan sebagai pilar pengurus utama keluarga; pengurus rumah tangga, dan wilayah tanggung jawabanya dalam rumah tangga. Dalam hal ini perempuan bertanggung jawab terhadap keindahan fisik rumah suaminya, pengelolaan sumber daya rumah, dan anak-anak. Peraduan; citra ini menganggap perempuan sebagai obyek seks atau pemuasan laki-laki. Seluruh kecantikan perempuan (kecantikan alamiah maupun buatan) disediakan untuk dikonsumsi laki-laki) seperti menyentuh, memandang, dan mencium.Kepuasan laki-laki adalah kepuasan perempuan yang mmerasa dihargai. Baagian tubuh yang dieksploitir adalah betis, dada, punggung, pinggul dan rambut. Pinggan; perempuan digambarkan sebagai pemilik kodrat, setinggi apapun pendidikannya atau penghasilannya, kewajibannya tetap di dapur. Pergaulan; perempuan digambarkan sebagai mahluk yang dipenuhi kekhawatiran tidak memikat, tidak tampil menawan, tidak bisa dibawa ke muka umum, dll.

[6]Andik purwasito, Kounikasi multi cultural, Surakarta: muhammadiah university press, 2003, Hlm 228
[7]Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto, Wanita dan Media: Konstruksi dan Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung: Rosda Karya, 1998, Hlm 107

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar