PENGERTIAN IJMA' DAN QIYAS
A.
Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut istilah para ahli ushul
fiqih adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat islam pada
suatu masa setelah Rasulullah saw wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian[1].
Apabila terjadi suatu kejadian yang
dihadapkan kepada semua mujtahid dari umat islam pada waktu kejadian itu
terjadi, dan mereka sepakat atas hukum mengenainya, maka kesepakatan mereka itu
di sebut ijma’. Kesepakatan mereka atas satu hukum mengenainya dianggap sebagai
dalil bahwasanya hukum tersebut merupakan hukum syara’ mengenai kejadian itu.
1.
Rukun Ijma’
Ijma’
merupakan kesepakatan para mijtahid mengenai
hukum-hukum syara’, dan kesepakatan ini dapat terjadi apabila terpenuhi rukun-rukunnya. Adapun rukun-rukun ijma’ adalah sebagai berikut:
hukum-hukum syara’, dan kesepakatan ini dapat terjadi apabila terpenuhi rukun-rukunnya. Adapun rukun-rukun ijma’ adalah sebagai berikut:
a.
Adanya
sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena
sesungguhnya kesepakatan itu tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada
sejumlah pendapat, dimana masing-masing pendapat sesuai dengan pendapat lainya.
b.
Adanya
kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan umat islam terhadap hukum syara’
mengenai suatu kasus/peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri
mereka, kebangsaan mereka, atau kelompok mereka.
c.
Bahwasanya
kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing orang dari
para mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik
berupa ucapan maupun perbuatan.
d.
Bahwa
kesepakatan dari seluruh mujtahid atas suatu hukum itu terealisir.
2.
Kehujjahan Ijma’
Apabila
rukun-rukun ijma’ diatas dapat terpenuhi dengan sempurna, maka dalil-dalil
hukum syara’ yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai undang-undang syar’i yang
wajib diikuti dan tidak boleh ditentang. Adapun dalil-dalil yang menyatakan tentang kehujjahan ijma’ adalah sebagai
berikut:
a.
Sebagaimana
tecantum dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’: 59
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”[2].
b.
Hukum yang disepakati mujtahid pada hakikatnya adalah hukum islam yang diwakili
oleh para mujtahid mereka.
c.
Bahwasanya ijma’ atas suatu hukum syar’i, karena sesungguhnya seorang
mujtahid islam mempunyai batasan-batasan yang tidak boleh dilanggarnya
3.
Macam-macam Ijma’
Ditinjau
dari segi cara menghasilkanya, ijma’ dibagi 2 macam yaitu:
a. Ijma’ Sharih: kesepakatan para mujtahid
pada suatu masa atas suatu kasus dengan cara masing-masing dari mereka
mengemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau putusan hokum
b. Ijma’ Sukuti: sebagian dari mujtahid
pada suatu masa mengemukakan pendapat mereka dengan jelas mengenai suatu kasus,
baik melalui fatwa atau suatu putusan hukum, dan sisa dari mereka tidak
memberikan tanggapan terhadap pendaapat tesebut, baik merupakan persetujuan
terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat itu
Sedangkan ditinjau dari
segi dalalahnya, maka ijma’ dibagi menjadi 2 macam yaitu:
a. Ijma’ yang Qat’i dalalahnya terhadap hukumnya, inilah
ijma’ sukuti. Maksudnya bahwasanya
hukumnya dipastikan dan tidak ada jalan untuk memutuskan hukum yang berlainan
denganya dalam kasusnya itu, dan tidak ada peluang untuk ijtihad dalam suatu
kasus setelah terjadinya ijma’ yang sarih atas hukum syara’ mengenai kasus itu
b. Ijma’
yang Danni dalalahnya atas hukumnya, yaitu ijma’ sukuti. Dalam arti bahwasanya
hukumya diduga kuat, dan ijma’ ini tidak mengeluarkan kasus tersebut dari
kedudukanya sebagai obyek bagi ijtihad, karena ia merupakan ungkapan dari
pendapat sekelompk mujtahid, bukan keseluruhan mereka
B.
Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa adalah
“mengukur dan mewataskan”[3],
sedangkan menurut istilah ahli ilmu ushul fiqih adalah mempersamakan suatu
kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya,
dalam hukum yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya[4].
Di bawah ini beberapa contoh
hukum syara’ dan hukum positif yang dapat menjelaskan definisi tersebut[5]:
a.
Meminum khamer adalah kasus yang ditetapkan dalam nash al-qur’an, yaitu
pengharaman yang ditunjuki oleh firman Allah:
Artinya:”sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi,
berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji
yang termasukperbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu.” (Q.S
Al-maidah:90)
Karena
suatu illat yaitu: memabukkan. Maka setiap minuman keras yang terdapat padanya
illat memabukkan disamakan dengan khamer mengenai hukumnya dan meminumnya.
b.
Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhdap orang yang mewariskan,
adalah kejadian yang telah ditetapkan hukumya oleh nash, yaitu dicegahnya
pembunuhan dari memperoleh harta pusaka, yang ditunjuki oleh sabda Nabi yang
artinya adalah:
Artinya:
“orang yang membunuh tidak memperoleh bagian harta pusaka”.
Karena
suatu illat: yaitu bahwasanya membunuh orang yang mewariskan, itu adalah
menyegerakan sesuatu sebelum waktunya. Maka maksudnya itu ditolak dan ia
mendapat hukuman dengan tidak memperoleh bagian harta pusaka.
c.
Jual beli pada waktu datangnya seruan adzan untuk shalat jum’at adalah
kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Yaitu makruh yang
ditunjuki firman Allah yang artinya sebagai berikut:
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari
jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli”.
1.
Kehujjahan Qiyas
Menurut mazhab jumhur ulama’ islam, bahwasanya qiyas
adalah merupakan hujjah syari’yyah atas hukum-hukum mengenai perbuatan manusia
(amaliyah). Ia menduduki peringkat keempat diantar hujjah-hujjah syari’yyah. Sedangkan
mazhab Nazhzamiyyah, Zahiriyyah, dan sebagian kelompok syi’ah berpendapat
bahwasanya qiyas bukanlah hujjah syar’iyyah atas hukum ( ﻨﻔﺔﺍﻠﻘﻳﺺ ).
Sedangkan
ulama’ yang mendukung adanya Qiyas mengemukakandalil berdasarkan Al-Qur’an ,
As-sunnah, perkataan dan perbuatan para sahabat, serta berdasarkan penalaran.
Adapun dalil Al-Qur’an yang mengemukakan tentang Qiyas yaitu Surah Al- Hasyir :
2
Artinya: Dia-lah
yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka
akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan
ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan
tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
Adapun dalil as-sunnah tentang kehujjahan Qiyas yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab bahwasanya ia pernah bertanya
kepada Rasulullah tentang orang yang sedang berpuasa itu mencium istrinya, tapi
tidak sampai mengeluarkan mani. Kata Nabi,” lalu bagaimanakah pendapatmu jika
engkau berkumur-kumur dengan air di waktu engkau berpuasa? Maka Umar menjawab”
menurutku yang demikian itu ya tidak apa-apa”.
2.
Rukun-rukun Qiyas
Setiap
Qiyas terdiri dari empat rukun, yaitu:
1.
Al-ashlu ( ):
sesuatu yang ada nash hukumnya. Ia
disebut juga al-maqis a’laih ( yang diqiyaskan kepadanya ), mahmul a’laih (yan dijadikan pertanggungan), dan
musyabbah bih (yang diserupakan kepadanya)
2.
Al-far’u: sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Ia juga disebut al-maqis (
yang diqiyaskan ), al-mahmul (yang dipertanggungkan), dan al-musyabbah (yang
diserupakan)
3.
Hukum Ashl: hukum syara’ yang ada hukum nashnya pada al-ashl (pokoknya), dan
ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-far’u ( cabangnya)
4.
Al-illat: suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok dan
berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada cabang ( far ), maka ia disamakan
dengan pokoknya dari segi hukumnya[6].
[1] Prof.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih,
Dina Utama, Semarang: 1994, Hlm 56
[2] Depertemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Sygma, Jakarta: 2009, Hlm 87
[3] Prof. Hasby
Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam,
Bulan Bintang, Jakarta: 1953, Hlm 149
[4] Syeh Abdul
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih,
Rineka Cipta, Jakarta: 1993, Hlm58
[5] Opcit, Hal 66
[6] Nasrun Haron, Ilmu
Ushul, Pustaka Setia, Bandung: 1993, Hlm 77