Minggu, 01 Desember 2013

USHUL FIQIH


PENGERTIAN IJMA' DAN QIYAS
A.    Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut istilah para ahli ushul fiqih adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian[1].
Apabila terjadi suatu kejadian yang dihadapkan kepada semua mujtahid dari umat islam pada waktu kejadian itu terjadi, dan mereka sepakat atas hukum mengenainya, maka kesepakatan mereka itu di sebut ijma’. Kesepakatan mereka atas satu hukum mengenainya dianggap sebagai dalil bahwasanya hukum tersebut merupakan hukum syara’ mengenai kejadian itu.
1.    Rukun Ijma’
Ijma’ merupakan kesepakatan para mijtahid mengenai
hukum-hukum syara’, dan kesepakatan ini dapat terjadi apabila terpenuhi rukun-rukunnya. Adapun rukun-rukun ijma’ adalah sebagai berikut:
a.         Adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena sesungguhnya kesepakatan itu tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, dimana masing-masing pendapat sesuai dengan pendapat lainya.
b.        Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan umat islam terhadap hukum syara’ mengenai suatu kasus/peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, atau kelompok mereka.
c.         Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing orang dari para mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
d.        Bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atas suatu hukum itu terealisir.

2.    Kehujjahan Ijma’
Apabila rukun-rukun ijma’ diatas dapat terpenuhi dengan sempurna, maka dalil-dalil hukum syara’ yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai undang-undang syar’i yang wajib diikuti dan tidak boleh ditentang. Adapun dalil-dalil yang menyatakan  tentang kehujjahan ijma’ adalah sebagai berikut:
a.          Sebagaimana tecantum dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’: 59




Artinya:  “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”[2].
b.    Hukum yang disepakati mujtahid pada hakikatnya adalah hukum islam yang diwakili oleh para mujtahid mereka.
c.    Bahwasanya ijma’ atas suatu hukum syar’i, karena sesungguhnya seorang mujtahid islam mempunyai batasan-batasan yang tidak boleh dilanggarnya
3.      Macam-macam Ijma’
Ditinjau dari segi cara menghasilkanya, ijma’ dibagi 2 macam yaitu:
a.    Ijma’ Sharih: kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas suatu kasus dengan cara masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau putusan hokum
b.    Ijma’ Sukuti: sebagian dari mujtahid pada suatu masa mengemukakan pendapat mereka dengan jelas mengenai suatu kasus, baik melalui fatwa atau suatu putusan hukum, dan sisa dari mereka tidak memberikan tanggapan terhadap pendaapat tesebut, baik merupakan persetujuan terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat itu
                        Sedangkan ditinjau dari segi dalalahnya, maka ijma’ dibagi menjadi 2 macam yaitu:
a.    Ijma’ yang Qat’i dalalahnya terhadap hukumnya, inilah ijma’ sukuti.  Maksudnya bahwasanya hukumnya dipastikan dan tidak ada jalan untuk memutuskan hukum yang berlainan denganya dalam kasusnya itu, dan tidak ada peluang untuk ijtihad dalam suatu kasus setelah terjadinya ijma’ yang sarih atas hukum syara’ mengenai kasus itu
b.     Ijma’ yang Danni dalalahnya atas hukumnya, yaitu ijma’ sukuti. Dalam arti bahwasanya hukumya diduga kuat, dan ijma’ ini tidak mengeluarkan kasus tersebut dari kedudukanya sebagai obyek bagi ijtihad, karena ia merupakan ungkapan dari pendapat sekelompk mujtahid, bukan keseluruhan mereka
B.     Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa adalah “mengukur dan mewataskan”[3], sedangkan menurut istilah ahli ilmu ushul fiqih adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya[4].
Di bawah ini beberapa contoh hukum syara’ dan hukum positif yang dapat menjelaskan definisi tersebut[5]:
a.       Meminum khamer adalah kasus yang ditetapkan dalam nash al-qur’an, yaitu pengharaman yang ditunjuki oleh firman Allah:


Artinya:”sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji yang termasukperbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu.” (Q.S Al-maidah:90)
Karena suatu illat yaitu: memabukkan. Maka setiap minuman keras yang terdapat padanya illat memabukkan disamakan dengan khamer mengenai hukumnya dan meminumnya.
b.      Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhdap orang yang mewariskan, adalah kejadian yang telah ditetapkan hukumya oleh nash, yaitu dicegahnya pembunuhan dari memperoleh harta pusaka, yang ditunjuki oleh sabda Nabi yang artinya adalah:
Artinya: “orang yang membunuh tidak memperoleh bagian harta pusaka”.
Karena suatu illat: yaitu bahwasanya membunuh orang yang mewariskan, itu adalah menyegerakan sesuatu sebelum waktunya. Maka maksudnya itu ditolak dan ia mendapat hukuman dengan tidak memperoleh bagian harta pusaka.
c.       Jual beli pada waktu datangnya seruan adzan untuk shalat jum’at adalah kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Yaitu makruh yang ditunjuki firman Allah yang artinya sebagai berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”.

1.      Kehujjahan Qiyas
Menurut mazhab jumhur ulama’ islam, bahwasanya qiyas adalah merupakan hujjah syari’yyah atas hukum-hukum mengenai perbuatan manusia (amaliyah). Ia menduduki peringkat keempat diantar hujjah-hujjah syari’yyah. Sedangkan mazhab Nazhzamiyyah, Zahiriyyah, dan sebagian kelompok syi’ah berpendapat bahwasanya qiyas bukanlah hujjah syar’iyyah atas hukum ( ﻨﻔﺔﺍﻠﻘﻳﺺ ).
Sedangkan ulama’ yang mendukung adanya Qiyas mengemukakandalil berdasarkan Al-Qur’an , As-sunnah, perkataan dan perbuatan para sahabat, serta berdasarkan penalaran. Adapun dalil Al-Qur’an yang mengemukakan tentang Qiyas yaitu Surah Al- Hasyir : 2









Artinya:  Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
Adapun dalil as-sunnah tentang kehujjahan Qiyas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah tentang orang yang sedang berpuasa itu mencium istrinya, tapi tidak sampai mengeluarkan mani. Kata Nabi,” lalu bagaimanakah pendapatmu jika engkau berkumur-kumur dengan air di waktu engkau berpuasa? Maka Umar menjawab” menurutku yang demikian itu ya tidak apa-apa”.




2.      Rukun-rukun Qiyas
Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun, yaitu:
1.      Al-ashlu ( ): sesuatu yang ada nash  hukumnya. Ia disebut juga al-maqis a’laih ( yang diqiyaskan kepadanya ), mahmul  a’laih (yan dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan kepadanya)
2.      Al-far’u: sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Ia juga disebut al-maqis ( yang diqiyaskan ), al-mahmul (yang dipertanggungkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan)
3.      Hukum Ashl: hukum syara’ yang ada hukum nashnya pada al-ashl (pokoknya), dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-far’u ( cabangnya)
4.      Al-illat: suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada cabang ( far ), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukumnya[6].




[1] Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama, Semarang: 1994, Hlm 56
[2] Depertemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Sygma, Jakarta: 2009, Hlm 87
[3] Prof. Hasby Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1953, Hlm 149
[4] Syeh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Rineka Cipta, Jakarta: 1993, Hlm58
[5] Opcit, Hal 66
[6] Nasrun Haron, Ilmu Ushul, Pustaka Setia, Bandung: 1993, Hlm 77

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar